Menatap dari Kejauhan
OPINI
Oleh:
Fr. Mario More Senda
Seluruh manusia sulit bebas
bergerak di masa pandemi. Gerakan virus terus menyerang setian bagian kehidupan
menghadang dari dapur sampai pasar. Berbagai cara pernyataan perang terhadap
virus terus berjalan. Tidak ada pilihan tanpa pengorbanan dan saat ini
pengobanan terberat sekaligus paling tidak enak adalah pembatasan gerak
manusia. Ketika kemajuan teknologi
transportasi mengedepankan kecepatan, kenyamanan, dan mobilisasi tanpa batas, harus
tunduk pada pembatasan gerak untuk melakukan penanganan virus. Manusia seakan mengalah
pada situasi dan hidup dalam lingkaran tanpa gerak yang jelas.
Di Indonesia sendiri
bentuk penanganan melalui pemberlakuan PPKM. Hingga saat ini belum ada
kejelasan pasti kapan PPKM akan berakhir. PPKM mestinya selesai pada 19 Juli
tetapi terus diperpanjang. Meskipun dalam berbagai data kasus kematian dan kasus
positif terus menurun tetapi virus ini sepertinya tidak ingin mengalah. Virus
ini terus menaikkan ekor dan terus bertarung. Jelas tidak ada yang ingin
mengatakan PPKM adalah solusi jitu. Beban utang negara terus naik hingga 991,3 triliun dan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional 2022 terus turun drastis yakni
dari 322,2 triliun turun 56,6 persen sejak PPKM berlaku. Tidak ada pihak yang
diuntungkan dengan kebijakan ini, tetapi tidak juga yang ingin mengutamakan uang
di atas jiwa manusia. Eksistensi manusia jauh lebih tinggi dari berbagai
kepentingan.
Hidup tanpa kepastian,
memasukan manusia dalam kerumitan, kekacauan, dan berbagai persoalan. Bentrokan
antara kehendak pribadi dan kepentingan publik belum menemukan titik temu.
Manusia berhadapan dengan pilihan rumit, ketika bertahan hidup harus ditegakkan
dari pada menjalankan aturan tanpa tahu kapan berhentinya. Boleh dibilang kebijakan
PPKM malah menambah beban kehidupan yang sudah banyak mengalami kerumitan mulai
dari masalah jasmani hingga masalah rohani. Kondisi rumit tidak pernah lepas
dari manusia. Manusia itu sendiri adalah rumit untuk dipahami dan dijelaskan.
Manusia hidup dalam kerumitan dan berkembang justru menghadapi kerumitan dan
kekacauan. Hanya tingkat kerumitan setiap pribadi berbeda bergantung pada situasi.
Walaupun sudah terbiasa dengan kekacauan dan kerumitan tetapi tidak ada manusia
yang tidak satupun manusia yang ingin tinggal dalamnya. Manusia selalu mencari
cara agar dapat menangani kerumitannya.
Sebagai bagian dari
manusia yang hidup di saat pandemi, saya sesekali mencoba menengok pandangan
kaum Stoa, ketika berhadapan dengan dunia yang penuh gejolak dari pada terus
bersedih dengan berbagai kendala yang ada. Bagi mereka manusia harus mempunyai
sikap tenang untuk menaklukkan situasi kacau. Tenang bukan berarti kondisi
tanpa ruang gerak, hening, dan suatu tindakan askese. Tenang adalah tindakan
berpikir. Suatu teknik yang membawa setiap insan harus terbang tinggi untuk menatap
kerumitan dari kejauhan. Teknik yang mengajari cara berdamai dengan situasi.
Seperti Elang yang
menyadari betapa mudahnya melihat situasi di daratan ketika berada dikejauhan. Stoisisme
memandang dunia dari kejauhan lalu menyadari betapa kecilnya dunia hingga
semuanya terpampang jelas. Elang yang terbang dari ketinggian dapat melihat
mangsanya dengan jelas dan seketika itu melakukan suatu pilihan antara
menerjang atau menunggu dengan sabar hingga mangsa menunjukkan titik lemahnya.
Dari kejauhan itulah Elang menentukan cara terbaik untuk mendapatkan mangsa.
Para stoisisme menyadari pentingnya untuk keluar dari kerumitan dunia. Dari
kejauhan itu tercipta jarak antara kerumitan dan dirinya yang sedang rumit.
Bukan berarti manusia harus lari tetapi dari kejauhan itulah manusia akan
menyadari betapa dirinya adalah bagian dari dunia. Dan kunci dari keberhasilan
adalah ketenangan.
Seperti Elang yang
menyadari betapa mudahnya melihat situasi di daratan ketika berada dikejauhan. Stoisisme
memandang dunia dari kejauhan lalu menyadari betapa kecilnya dunia hingga
semuanya terpampang jelas. Elang yang terbang dari ketinggian dapat melihat
manggsa dengan jelas dan seketika itu melalakukan suatu pilihan antara
menerjanga atau menungugu dengn sabar
hingga mangsa menujukan titik lemahnya. Dari kejauhan itulah Elang menentukan
cara terbaik untuk mendapatkan mangsa. Para stoasisme menyadari pentingnya
untuk keluar dari kerumitan dunia. Dari kejauhan itu tercipta jarak antara kerumitan
dan dirinya yang sedang rumit. Bukan berarti manusia harus lari tetapi dari
kejauhan itulah manusia akan menyadari betapa dirinya adalah bagian dari dunia.
Dan kunci dari keberhasilan adalah ketenangan.
Stoisisme agaknya
sesuai dengan pernyataan “Selesaikan masalah dengan kepala dingin”. Marah terhadap situasi tentunya bukan solusi yang
baik. Amarah menutup tindakan berpikir dan dapat menimbulkan suasana kacau. Marah
dalam takaran tanpa berpikir merupakan tindakan irrasional. Metafora otak
dingin mempunyai arti kemampuan untuk menguasai situasi bahkan tidak
terpengaruh olehnya. Persis seperti
pandangan Stoisisme ketika berhadapan dengan situasi yang kacau, masa pandemi
merupakan situasi kacau. Banyak orang kurang mampu menguasai situasi pandemi.
Pada akhirnya keluhan disana-sini. Oleh karenanya dari pandangan Stoisisme tentang
memandang suatu persoalan dari kejauhan dapat menjadi referensi yang baik.
Pertama, menatap persoalan dari jauh merupakan tindakan untuk berpikir. Pada dasarnya
manusia merupakan bagian dari dunia. Manusia terlempar dalam dunia dan menyatu
dengan dunia yang sudah memiliki
tatanan. Manusia tidak mampu melawan tatanan dunia tetapi wajib menyatu dengan
tata dunia. Oleh karenanya kegiatan berpikir berperan bukan untuk mengubah
sesuatu melainkan untuk menguasi dan memahami secara mendalam. Ketika
berhadapan dengan situasi kacau kegiatan berpikir hendaknya mendapatkan tempat.
Melalui kegiatan berpikir inilah kemampuan sebagai makhluk yang terlempar dalam
dunia mempunyai arti. Manusia tidak menjadi objek dari alam tetapi sejajar
dengan alam, sehingga kekacauan dunia tidak menguasai manusia tetapi memberi
kesempatan untuk memikirkannya dan mencari jalan keluar.
Kedua, melihat persoalan dari kejauhan juga mempunyai arti proses memilah. Ada banyak
pilihan untuk memutuskan menahan diri atau bertindak. Seperti Elang yang
terbang di kejauhan dan menatap mangsa. Ia akan memilih antara menerjang atau
memantau kembali keberadaan mangsa.
Mungkin ada yang berkata, semua pilihan itu baik tetapi apakah yang baik itu
baik? memilah berarti menjauhkan yang mengandung kemungkinan terburuk dan
menentukan yang mengandung nilai paling tinggi. Memilah mana yang dapat
dikerjakan? Tentu saja yang mampu dan dalam kadar kewarasan. Semua tawaran
nampaknya baik, logis, dan sangat rasional tentunya baik hanya saja jika
kesimpulan yang dihasilkan tanpa proses berpikir yang matang kesimpulan itu
dapat keliru.
Ketiga, pengambilan makna. Kekacauan akan menjadi
lebih kacau jika tidak mempunyai kecakapan untuk memetik sesuatu yang paling
bermanfaat dari sesuatu yang kacau. Banyak orang gagal keluar dari situasi
sulit karena tidak mampu memaknainya. Terbelenggu dan terus memikirkan tanpa
menemukan suatu yang mendorong untuk berdamai dan bertindak. Dalam pandangan Stoisisme
manusia berkaitan erat dengan dunia yang sedang ia hadapi. Manusia mumpunyai
peran untuk mengusahakan segala sesuatu agar lebih baik tanpa mengubah tata
dunia, karena manusia tidak mempunyai kemampuan untuk kes ana. Semakin tumpul
proses pencarian makna, maka semakin sulit pula untuk keluar dari suatu
persoalan dan yang ada adalah manusia hanya berputar-putar dengan pikirannya.
Dari ketiga bagian itu
mempunyai suatu kunci yaitu ketenangan. Di sini ketenangan menentukan keputusan
yang akan diambil. Ketenangan hadir menyatu dengan situasi, namun tidak juga
larut dalam situasi. Ia seperti air, tidak menunjukkan kedalamannya tetapi dari
kejauhan semua dapat mengerti bahwa ia memiliki kedalaman. Tenang tidak dikuasai
oleh situasi, ia mengambil jarak sekaligus menyatu dengan situasi. Dari ketenangan
itulah lahirlah cara berpikir, cara memilah,
dan cara mengambil makna, karena mempunyai kemampuan untuk bersatu dengan
situasi sebagai yang melihat dari jauh lalu mengambil cara untuk menilai.
Tentunya tidak ada cara
instan untuk menemukan cara menguasai kekacauan yang sedang dihadapi. Berkaitan
dengan kegiatan berpikir, memilah, dan menemukan makna merupakan suatu proses
yang perlu dilatih. Beberapa cara yang cukup membantu adalah menemukan pikiran
paling dominan, lalu mencatatnya dalam sebuah jurnaling, kemudian memilah mana
yang baik dan buruk, lalu menemukan makna, misalnya dari rangkaian peristiwa
itu, apa yang dapat dipelajari untuk kehidupan. Sederhananya kaum Stoa
menawarkan cara keluar dari kekacauan baik dari dalam diri dan luar diri dengan
cara Refleksi.
Tulisan ini memang
tidak mengajak siapapun untuk hidup begitu saja di masa pandemic, tetapi
mengajak banyak orang untuk memikirkan kembali semua tindakan, semua gejolak,
emosi, semua informasi di masa pandemi. Yang menulis bukan ahli kesehatan
tetapi memiliki pilihan tersendiri ketika berhadapan dengan situasi di masa
pandemi. Setidaknya perlu untuk memikirkan banyak aspek di kehidupan ini,
memikirkan banyak orang, dan alam semesta. Cobalah untuk terbang ke angkasa,
jauh dari tanah dan kemudian lihatlah dunia, dari sana terpampang jelas bahwa dunia adalah satu
kesatuan, dunia bukan satu aspek saja. Jadi berpikilah seluas mungkin, pilihlah
yang paling aman, dan carilah makna agar hidup terus berjalan dengan arah yang
tepat.
0 komentar:
Posting Komentar