Minggu, 19 September 2021

Menatap dari Kejauhan

 OPINI

Oleh:
Fr. Mario More Senda
Seluruh manusia sulit bebas bergerak di masa pandemi. Gerakan virus terus menyerang setian bagian kehidupan menghadang dari dapur sampai pasar. Berbagai cara pernyataan perang terhadap virus terus berjalan. Tidak ada pilihan tanpa pengorbanan dan saat ini pengobanan terberat sekaligus paling tidak enak adalah pembatasan gerak manusia. Ketika kemajuan teknologi transportasi mengedepankan kecepatan, kenyamanan, dan mobilisasi tanpa batas, harus tunduk pada pembatasan gerak untuk melakukan penanganan virus. Manusia seakan mengalah pada situasi dan hidup dalam lingkaran tanpa gerak yang jelas.

Di Indonesia sendiri bentuk penanganan melalui pemberlakuan PPKM. Hingga saat ini belum ada kejelasan pasti kapan PPKM akan berakhir. PPKM mestinya selesai pada 19 Juli tetapi terus diperpanjang. Meskipun dalam berbagai data kasus kematian dan kasus positif terus menurun tetapi virus ini sepertinya tidak ingin mengalah. Virus ini terus menaikkan ekor dan terus bertarung. Jelas tidak ada yang ingin mengatakan PPKM adalah solusi jitu. Beban utang negara terus naik hingga 991,3 triliun dan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional 2022 terus turun drastis yakni dari 322,2 triliun turun 56,6 persen sejak PPKM berlaku. Tidak ada pihak yang diuntungkan dengan kebijakan ini, tetapi tidak juga yang ingin mengutamakan uang di atas jiwa manusia. Eksistensi manusia jauh lebih tinggi dari berbagai kepentingan.

Hidup tanpa kepastian, memasukan manusia dalam kerumitan, kekacauan, dan berbagai persoalan. Bentrokan antara kehendak pribadi dan kepentingan publik belum menemukan titik temu. Manusia berhadapan dengan pilihan rumit, ketika bertahan hidup harus ditegakkan dari pada menjalankan aturan tanpa tahu kapan berhentinya. Boleh dibilang kebijakan PPKM malah menambah beban kehidupan yang sudah banyak mengalami kerumitan mulai dari masalah jasmani hingga masalah rohani. Kondisi rumit tidak pernah lepas dari manusia. Manusia itu sendiri adalah rumit untuk dipahami dan dijelaskan. Manusia hidup dalam kerumitan dan berkembang justru menghadapi kerumitan dan kekacauan. Hanya tingkat kerumitan setiap pribadi berbeda bergantung pada situasi. Walaupun sudah terbiasa dengan kekacauan dan kerumitan tetapi tidak ada manusia yang tidak satupun manusia yang ingin tinggal dalamnya. Manusia selalu mencari cara agar dapat menangani kerumitannya.

Sebagai bagian dari manusia yang hidup di saat pandemi, saya sesekali mencoba menengok pandangan kaum Stoa, ketika berhadapan dengan dunia yang penuh gejolak dari pada terus bersedih dengan berbagai kendala yang ada. Bagi mereka manusia harus mempunyai sikap tenang untuk menaklukkan situasi kacau. Tenang bukan berarti kondisi tanpa ruang gerak, hening, dan suatu tindakan askese. Tenang adalah tindakan berpikir. Suatu teknik yang membawa setiap insan harus terbang tinggi untuk menatap kerumitan dari kejauhan. Teknik yang mengajari cara berdamai dengan situasi.

Seperti Elang yang menyadari betapa mudahnya melihat situasi di daratan ketika berada dikejauhan. Stoisisme memandang dunia dari kejauhan lalu menyadari betapa kecilnya dunia hingga semuanya terpampang jelas. Elang yang terbang dari ketinggian dapat melihat mangsanya dengan jelas dan seketika itu melakukan suatu pilihan antara menerjang atau menunggu dengan sabar hingga mangsa menunjukkan titik lemahnya. Dari kejauhan itulah Elang menentukan cara terbaik untuk mendapatkan mangsa. Para stoisisme menyadari pentingnya untuk keluar dari kerumitan dunia. Dari kejauhan itu tercipta jarak antara kerumitan dan dirinya yang sedang rumit. Bukan berarti manusia harus lari tetapi dari kejauhan itulah manusia akan menyadari betapa dirinya adalah bagian dari dunia. Dan kunci dari keberhasilan adalah ketenangan.

Seperti Elang yang menyadari betapa mudahnya melihat situasi di daratan ketika berada dikejauhan. Stoisisme memandang dunia dari kejauhan lalu menyadari betapa kecilnya dunia hingga semuanya terpampang jelas. Elang yang terbang dari ketinggian dapat melihat manggsa dengan jelas dan seketika itu melalakukan suatu pilihan antara menerjanga atau menungugu  dengn sabar hingga mangsa menujukan titik lemahnya. Dari kejauhan itulah Elang menentukan cara terbaik untuk mendapatkan mangsa. Para stoasisme menyadari pentingnya untuk keluar dari kerumitan dunia. Dari kejauhan itu tercipta jarak antara kerumitan dan dirinya yang sedang rumit. Bukan berarti manusia harus lari tetapi dari kejauhan itulah manusia akan menyadari betapa dirinya adalah bagian dari dunia. Dan kunci dari keberhasilan adalah ketenangan.

Stoisisme agaknya sesuai dengan pernyataan “Selesaikan masalah dengan kepala dingin”.  Marah terhadap situasi tentunya bukan solusi yang baik. Amarah menutup tindakan berpikir dan dapat menimbulkan suasana kacau. Marah dalam takaran tanpa berpikir merupakan tindakan irrasional. Metafora otak dingin mempunyai arti kemampuan untuk menguasai situasi bahkan tidak terpengaruh olehnya. Persis seperti pandangan Stoisisme ketika berhadapan dengan situasi yang kacau, masa pandemi merupakan situasi kacau. Banyak orang kurang mampu menguasai situasi pandemi. Pada akhirnya keluhan disana-sini. Oleh karenanya dari pandangan Stoisisme tentang memandang suatu persoalan dari kejauhan dapat menjadi referensi yang baik.

Pertama, menatap persoalan dari jauh merupakan tindakan untuk berpikir. Pada dasarnya manusia merupakan bagian dari dunia. Manusia terlempar dalam dunia dan menyatu dengan  dunia yang sudah memiliki tatanan. Manusia tidak mampu melawan tatanan dunia tetapi wajib menyatu dengan tata dunia. Oleh karenanya kegiatan berpikir berperan bukan untuk mengubah sesuatu melainkan untuk menguasi dan memahami secara mendalam. Ketika berhadapan dengan situasi kacau kegiatan berpikir hendaknya mendapatkan tempat. Melalui kegiatan berpikir inilah kemampuan sebagai makhluk yang terlempar dalam dunia mempunyai arti. Manusia tidak menjadi objek dari alam tetapi sejajar dengan alam, sehingga kekacauan dunia tidak menguasai manusia tetapi memberi kesempatan untuk memikirkannya dan mencari jalan keluar.

Kedua, melihat persoalan dari kejauhan juga mempunyai arti proses memilah. Ada banyak pilihan untuk memutuskan menahan diri atau bertindak. Seperti Elang yang terbang di kejauhan dan menatap mangsa. Ia akan memilih antara menerjang atau memantau kembali  keberadaan mangsa. Mungkin ada yang berkata, semua pilihan itu baik tetapi apakah yang baik itu baik? memilah berarti menjauhkan yang mengandung kemungkinan terburuk dan menentukan yang mengandung nilai paling tinggi. Memilah mana yang dapat dikerjakan? Tentu saja yang mampu dan dalam kadar kewarasan. Semua tawaran nampaknya baik, logis, dan sangat rasional tentunya baik hanya saja jika kesimpulan yang dihasilkan tanpa proses berpikir yang matang kesimpulan itu dapat keliru.

Ketiga, pengambilan makna. Kekacauan akan menjadi lebih kacau jika tidak mempunyai kecakapan untuk memetik sesuatu yang paling bermanfaat dari sesuatu yang kacau. Banyak orang gagal keluar dari situasi sulit karena tidak mampu memaknainya. Terbelenggu dan terus memikirkan tanpa menemukan suatu yang mendorong untuk berdamai dan bertindak. Dalam pandangan Stoisisme manusia berkaitan erat dengan dunia yang sedang ia hadapi. Manusia mumpunyai peran untuk mengusahakan segala sesuatu agar lebih baik tanpa mengubah tata dunia, karena manusia tidak mempunyai kemampuan untuk kes ana. Semakin tumpul proses pencarian makna, maka semakin sulit pula untuk keluar dari suatu persoalan dan yang ada adalah manusia hanya berputar-putar dengan pikirannya.

Dari ketiga bagian itu mempunyai suatu kunci yaitu ketenangan. Di sini ketenangan menentukan keputusan yang akan diambil. Ketenangan hadir menyatu dengan situasi, namun tidak juga larut dalam situasi. Ia seperti air, tidak menunjukkan kedalamannya tetapi dari kejauhan semua dapat mengerti bahwa ia memiliki kedalaman. Tenang tidak dikuasai oleh situasi, ia mengambil jarak sekaligus menyatu dengan situasi. Dari ketenangan itulah   lahirlah cara berpikir, cara memilah, dan cara mengambil makna, karena mempunyai kemampuan untuk bersatu dengan situasi sebagai yang melihat dari jauh lalu mengambil cara untuk menilai.

Tentunya tidak ada cara instan untuk menemukan cara menguasai kekacauan yang sedang dihadapi. Berkaitan dengan kegiatan berpikir, memilah, dan menemukan makna merupakan suatu proses yang perlu dilatih. Beberapa cara yang cukup membantu adalah menemukan pikiran paling dominan, lalu mencatatnya dalam sebuah jurnaling, kemudian memilah mana yang baik dan buruk, lalu menemukan makna, misalnya dari rangkaian peristiwa itu, apa yang dapat dipelajari untuk kehidupan. Sederhananya kaum Stoa menawarkan cara keluar dari kekacauan baik dari dalam diri dan luar diri dengan cara Refleksi.

Tulisan ini memang tidak mengajak siapapun untuk hidup begitu saja di masa pandemic, tetapi mengajak banyak orang untuk memikirkan kembali semua tindakan, semua gejolak, emosi, semua informasi di masa pandemi. Yang menulis bukan ahli kesehatan tetapi memiliki pilihan tersendiri ketika berhadapan dengan situasi di masa pandemi. Setidaknya perlu untuk memikirkan banyak aspek di kehidupan ini, memikirkan banyak orang, dan alam semesta. Cobalah untuk terbang ke angkasa, jauh dari tanah dan kemudian lihatlah dunia, dari  sana terpampang jelas bahwa dunia adalah satu kesatuan, dunia bukan satu aspek saja. Jadi berpikilah seluas mungkin, pilihlah yang paling aman, dan carilah makna agar hidup terus berjalan dengan arah yang tepat. 

Kami siap membangun dunia literasi bercita rasa Kristiani dalam semangat Aggiornamento di tengah generasi milenial

0 komentar:

Posting Komentar

Kirim Tulisan

What's App:

+62817-0318-8444 (Kalam)

Alamat:

Jl. Sigura-gura Barat, No. 2 Karang Besuki (Seminari Tinggi Interdiosesan Giovanni XXIII),
Malang, Jawa Timur

Email :

narasigiovanni@gmail.com

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog