Selamat Datang!

Pembaca Penulis Narasi Giovanni

Lihat Tulisan Kirim Tulisan!

Tentang Kami

Pembaca
Kontributor
Pengembangan
Program

Seksi Studi

Mading Online Seminari Tinggi Interdiosesan San Giovanni XXIII

Blog ini merupakan wadah tulisan bagi para Frater Giovanni sekaligus menjadi Mading Online yang digagas oleh seksi studi dalam program visioner periode 2021/2022 .

Kami mengundang bagi Frater Giovanni untuk berkontribusi dan membangkitkan kembali dunia literasi dalam semangat Aggiornamento .

Services

Admin

Fr. Alfredo Kevin, Fr. Ignatius Ageng, Fr. Lorensius Heri

Development

Fokus pengembangan kami adalah menghadirkan tulisan-tulisan yang dapat memberikan sentuhan perubahan mini bercita rasa kristiani namun berdampak saat ini terkait nilai-nilai kehidupan kepada orang banyak.

Track

Mading online kami tidak hanya melalui blogger tetapi juga media sosial Facebook

Terms of Writing

OPINI: 1. Original, belum pernah dimuat oleh media atau institusi manapun (Terkecuali: Fb, ig dan medsos lainnya) 2. Tidak plagiasi (Ingat Dosa) 3. Menarik dan memantik. 4. Sederhana tapi bermakna. 5. Panjang tulisan 600-1200 kata (Tidak Lebih) CERPEN dan PUISI 1. Tema bebas. 2. Kedalaman (Non multa sed multum) 3. Menarik dan Menyayat Hati QUOTES 1. Kata-kata memantik kesadaran tersembunyi. 2. Silahkan mainkan kata-kata menarik Anda.

Tulisan Kami

Si Baju Merah

CERPEN
Oleh: Fr. Ayub Api Bato

        Selepas sore itu Darmin pergi ke kebun yang terletak di belakang rumahnya, ia hendak mencari daun singkong untuk dijadikan sayur santap malam seadanya bersama isteri dan anak perempuannya. Namun, ketika hendak melangkahkan kakinya keluar rumah, Darmin terkejut mendengar teriakan dari dalam bilik rumah. "Mas-mas, mas Darmin!", teriak isterinya itu membentak langkah kaki Darmin. Tanpa menunggu lama Darmin langsung berpaling dari keinginannya untuk memetik daun singkong. Ia pun segera masuk ke dalam rumah dan dibukanyalah tirai bilik anak perempuannya itu; sedang isterinya duduk di samping bilik anaknya, Darmin pun segera duduk di samping isterinya. "Adik kenapa Rat?" tanya Darmin. "Gak tahu juga mas, tadi setelah mandi, tiba-tiba tubuhnya Rahmi langsung panas gitu", sela isterinya dengan raut wajah cemas. Darmin pun mulai nampak gelisah sambil memandang wajah isterinya dengan menghela napas. Dilihatnya suasana di luar nampak sepi dan sudah mulai gelap. Warga kampung pun sudah tidak ada lagi yang keluar rumah, kecuali warga yang berlalu-lalang hendak ke musholla yang ada di tengah kampung, "Aduh, bagaimana nih mas jika panasnya Rahmi semakin tinggi, gak mungkin mas jika kita ingin membawanya ke rumah sakit karena jaraknya yang cukup jauh."

        Darmin termenung sendiri dalam pikirannya, entah apa yang ia pikirkan, yang pasti dia tidak mendengar apa yang dikatakan isterinya barusan. Tiba-tiba Darmin pun teringat dengan Kang Salim, sahabatnya yang berasal dari Jakarta; seorang kenalannya sewaktu masih menjadi TKI di Malaysia. Waktu itu Darmin yang masih bujang tidak puas dengan akan hasil panen dari kebun pribadinya, kemudian memilih untuk merantau ke Malaysia, dengan dokumen dan paspor seadanya. Akhirnya ia bertemu dengan Kang Salim dan tinggal serta bekerja bersama di kamp-kamp perusahaan sawit swasta. Pernah juga dalam beberapa kali kesempatan Darmin merasa kurang enak badan, Kang Salim lalu lekas mengambil alih berdoa sambil mengkomat-kamitkan mulutnya, lalu memberi Darmin segelas air putih, dan keesokan harinya, Darmin pun kembali sehat. Hal itu lah yang membuat Darmin yakin akan kemampuan luar biasa sahabatnya itu. "Mas, mas, Mas Darmin!", sela Ratna membuyarkan pikiran lamun suaminya itu. "Bagaimana ini mas?", tanya Ratna sekali lagi. "Wes rapopo, aku ono kenalan seng iso nyembuhin Rahmi". "Sopo mas?" tanya Ratna. "Ah kamu gak perlu tahu; yang penting kamu jaga Rahmi di sini, aku pergi dulu", jawab Darmin sambil berlalu.

        Rumah Kang Salim berada di tepi kampung dan memang benar-benar berada di tempat yang paling ujung; di mana tempat itu sangat sepi dan jauh dari keramaian hiruk pikuk desa, apalagi menjelang malam hari, rumah Kang Salim benar-benar menjadi tempat yang sepertinya sungguh terasingkan. Maklum, Kang Sali adalah peghuni baru di kampung itu, sehingga untuk mendapat tanah dan rumah di tengah kampung sangatlah sulit, hanya Darmin dan pak Rt-lah yang mengenal keadaan Kang Salim saat ini. Kang Salim juga sudah menjadi duda sejak empat tahun lalu, semenjak ditinggal isterinya yang telah wafat dan anak-anaknya pun sudah merantau entah ke mana; sampai tak ada kabarnya saat ini. Jadi terpaksa Kang Salim harus bekerja sendiri, mengolah sebidang tanah yang dibelinya sewaktu baru pindah. Akhirnya malam itu, Darmin memutuskan untuk pergi ke rumah Kang Salim, guna mencari penyembuhan untuk si Rahmi yang sedang sakit. "Semoga saja ketemu", Darmin membatin. Lalu, ia melangkah keluar meninggalkan Rahmi dan isterinya, tanpa pamit. 

        Malam sudah larut, suasana kampung nampak begitu lenggang, hanya obor-obor yang dipasang warga di depan rumah mereka dan rembang dari rembulan yang saat ini menjadi penerang dan peneman perjalanan Darmin malam itu. Sesekali Darmin berpapasan dengan warga kampung yang baru saja pulang dari mushola. Tanpa kata-kata Darmin melintasi mereka satu per satu, hanya lemparan senyum seadanya yang ditampilkannya, sebab kali ini hatinya sangat risau memikirkan anaknya yang sedang sakit. Setelah berjalan cukup lama, Darmin mulai meninggalkan area kampung yang penuh dengan rumah. Kini ia memasuki kebun-kebun warga yang dipenuhi dengan tanaman dan sedikit pepohonan besar; yang sesekali menghapus bayangan Darmin dari rembang rembulan. Kini suasanan begitu sepi, hanya suara gesekan alas kaki yang bersua dengan kasarnya jalan tanah; yang kini didengarnya. Semakin lama, semakin keras, dan membuyarkan suara alam yang ada disekitarnya.

        Setelah melewati kebun warga. Kini, Darmin harus melewati perkuburan, yang begitu gelap dan runduk. Pekuburan itu berada di pinggir jalan utama dan melewati kuburan untuk dapat mengakses perjalananan menuju pasar atau kota. Dilihatnya dari kejauhan sekitar sepelemparan batu, terpampang tulisan, "Pekuburan Muslim Desa Sugi", dan papan tulisan itu nampak sudah tua dan lapuk, tumbuhan bertali banyak merayapi tubuh papan itu. Darmin melihat dari tulisannya saja sudah nampak begitu mengerikan, seperti ada tersimpan sesuatu di sana, sesuatu yang cukup besar, gelap dan menyeramkan. Namun, Darmin berusaha untuk menepis semua pikiran itu, dan lebih memilih untuk memikirkan anaknya yang sedang sakit, tetapi semakin ditolaknya, semakin pikiran itu menjajahi pikirannya.

        Kini bukan lagi nafsu liar Darmin yang muncul kala berhadapan dengan isterinya, tetapi pikiran-pikiran liar yang hadir kala berhadapan dengan sebidang tanah yang penuh dengan bangkai-bangkai manusia mati. Tanpa peduli Darmin terus melangkah dan ketika hendak memasuki area pekuburan, Darmin teringat cerita warga kampung, bahwa dulu ada seorang wanita berbaju merah, yang dibunuh dan dipenggal kepalanya, lalu mayatnya dilemparkan ke area pekuburan, dan seminggu setelah lewat peristiwa itu, ada dua orang pemuda yang pulang dari pasar ketika melewati area pekuburan. Kedua pemuda itu melihat ada seorang wanita berbaju merah menanggalkan kepalanya, seperti memetik buah kelapa, lalu terus menerus dipelintir menggunakan kedua tangannya hingga terlepas dan jatuh ke tanah. kedua pemuda itu pun segera lari pontang-panting. Mengingat cerita itu, membuat bulu kuduk Darmin berdiri juga. Perasaan takut pun mulai menguasai dirinya, tiba-tiba ia merasa kakinya sangat berat untuk melangkah. Rasanya seperti menyeret sebuah beban yang sangat berat. "Apakah ini karena rasa takut?", Darmin membatin. Dengan segala keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja, Darmin mulai berjalan melewati area pekuburan itu.

        Nampak begitu hening, sepi dan tak berpenghuni. Sesekali dedaunan dari pohon bambu berbunyi, karena bergesekan bersama rendahnya angin. Darmin pun teringat kembali, konon sosok wanita yang sering menampakkan diri di depan gerbang masuk ke area pekuburan; kini hendak dilalui oleh Darmin. Selangkah demi selangkah Darmin mulai melanjutkan perjalanannya, kini suara gesekan sandalnya sudah tak terdengar lagi, karena langkah kaki yang dipelankannya. Ia takut jika akan membangukan mereka yang sedang terbaring tenang di alam sana, ataupun menganggu wanita yang berbaju merah itu. Darmin juga menoleh ke arah kanan, dilihatnya samar-samar batu nisan yang disinari oleh rembulan. Batu-batu nisan yang nampak begitu lusuh, juga rerumputan liar yang menjarah ke bukit-bukit kubur, nampak begitu kumuh dan tak terurus. Maklum baru menjelang hari raya lebaranlah para warga dan pak Lurah bergotong royong membersihkan area pekuburan itu.

        Setelah berjalan dan hampir melewati area pekuburan, Darmin mulai merasa cukup lega, karena apa yang ditakutkannya tidak sama dengan kenyataan yang dikatakan warga sekitar. Wanita berbaju merah itu pun juga tidak nampak di setiap sudut area pekuburan. Ia tertawa menang di dalam hatinya. Beberapa langkah lagi ia akan melewati area pekuburan yang menjengkelkan dan menyeramkan itu. Tetapi seketika itu juga, ia mendengar dari kejauhan ada seseorang yang memanggil namanya, "Darmin, Darmin, Darmin!", terus menerus hingga beberapa kali. Darmin berharap itu bukanlah suara dari wanita berbaju merah itu, dengan segala keberanian ia pun menoleh ke belakang tetapi tidak ada siapapun di belakang sana. Beberapa saat kemudian terdengar kembali suara yang terus memanggil namanya, kini suara itu terdengar semakin jelas, namun sedikit bernada parau. Kini suara itu sudah berada di sekitar area pekuburan semakin dekat dan dekat.

        Kini Darmin berusaha untuk menyipitkan matanya, dan kemudian dilihatnyalah sosok berbaju merah yang sedang berjalan menuju kearahnya. Mungkinkah dia adalah wanita berbaju merah, tanya Darmin dalam hati. Ketika sosok berbaju merah itu semakin mendekat kearahnya, Darmin mulai merasa ketakutan yang menyelimuti dirinya, napasnya semakin memburu, ditelannya liurnya hungga membuat jakunnya naik turu. Mulutnya terasa kaku, ketika sosok itu menyapa drinya, "Mas Darmin." Tanpa pikir panjang, Darmin segera lari terbirit-birit, meninggalkan sosok yang menyeramkan itu bersama sandal jepit yang kumal tanpa disadari juga ketinggalan. Darmin berlari seperti seorang atlet yang sedang memperlombakan kejuaraan, begitu ringan, gesit, cepat dan lalu menghilang dalam kegelapan malam. Ia terus berlari tanpa menoleh ke belakang, yang ada dipikirannya saat ini bukan lagi anaknya Rahmi yang sedang sakit dan membutuhkan pertolongan melainkan lari dan lari agar menjauh dari sosok berbaju merah itu. I takut apabila nanti ia melepaskan kepalanya dihadapan Darmin dan tentu akan membuat ia bisa pingsan dan tidak bisa menolong anaknya. Hingga akhirnya ia berhenti dari pelariannya dan ia pun menoleh ke belakang. Sosok berbaju merah itu sudah tidak nampak lagi.

        Nafas Darmin kini perlahan teratur kembali, ia menunduk dan memegang kedua lututnya yang sudah tua namun kali ini malah dipaksa untuk berlari. "Hantu sialan, kerjanya hanya menakut-nakuti orang saja", sela ia dalam hatinya. Kali ini ia tidak peduli lagi dengan hantu itu, ia harus segera pergi ke rumah Kang Salim untuk menerima bantuan, karena anaknya yang sedang sakit, dan lumayan juga supaya ada teman seperjalanan untuk balik ke rumah. Sambil tergopoh-gopoh tanpa alas kaki yang sudah ditinggalkannya tadi di area pekuburan; ia pun berjalan menuju rumah Kang Salim.

        Akhirnya tibalah ia di rumah Kang Salim. Suasananya juga sepi persis seperti daerah pekuburan tadi, kini hanya suara jangkrik yang menyapanya setiap kali langkahnya tertapak menuju pekarang rumah Kang Salim. Sepi dan tak berpenghuni, hanya daun-daun renyah ketika diinjak yang menjawab setiap langkah penuh harap itu. Ia mulai menaiki teras dan mengetuk secara perlahan pintu rumah. "Permisi, selamat malam", sekali lagi, tapi tak ada jawaban sama sekali. Sepi. Darmin pun mulai putus asa, ia kebingungan tentang apa yang harus ia lakukan; kini seseorang yang menjadi harapan untuk menyembukan anaknya yang sedang sakit, tidak berada di rumah. Hal itu diketahuinya juga melalui obor di pinggir jalan yang mestinya dinyalakan oleh pemilik rumah, seperti kebiasaan warga kampung lainnya ketika hari menjelang malam.

        Apakah kali ini ia harus ke rumah sakit? Tentu tidak memungkinkan. Saat ini malam sudah benar-benar menampakkan kegelapannya; mengantar anaknya adalah hal yang tidak mungkin, selain tidak mempunyai kendaraan; kendaraan umum juga jarang lewat jika telah larut malam. Kini, Darmin harus kembali ke rumah dan bersua dengan kenyataan, bahwa ia akan melewati area pekuburan yang gelap dan sepi, lalu bertemu dengan sosok wanita berbaju merah, dan ia akan berlari ketakutan, kemudian tiba di rumah bertemu keluarganya yang sedang dirundung kesusahan akibat anaknya yang sedang demam tinggi. Seperti kata pepatah "Sudah jatuh lalu tertimpa tangga", sungguh nasib sial yang dialaminya saat ini.

        Darmin menghela napas panjang, sambil menutup mata. Ia berusaha untuk mengumpulkan keberaniannya sebagai bekal untuk melewati jalan pekuburan itu. Kini, ia sudah siap dengan segala kemungkinan yang ada. Saatnya untuk kembali. Ketika hendak melangkah keluar dari teras rumah Kang Salim, ia kaget ketika melihat sahabat lamanya itu yang tiba-tiba muncul dan berdiri di pekarangan rumah; dengan menggunakan baju merah yang kotor dan lusuh, persis seperti wanita berbaju merah yang ditemuinya sewaktu di jalan pekuburan tadi, tetapi ia kenal betul dengan sosok yang satu ini. Dia adalah Kang Salim; bukan wanita berbaju merah itu. "Hei, Darmin apa kabar?", tanya Salim. "Kang Salim?", tanya Darmin sambungnya sembari tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, lalu dengan gembira ia menyambut Salim. "Mau ke mana kamu, ayo duduklah dulu." Kang Salim mempersilakan Darmin duduk di kursi ruang tamu. "Ada apa ini, tumben malam-malam ke sini? Sebentar saya ambilkan minum dulu." "Ah tidak usah repot=repot, saya ke sini cuma ada perlu sebentar, Kang", sela Darmin sambil menahan tangan Kang Salim untuk beranjak. "Ah begini Kang", "Eh tunggu dulu," Kang Salim memotong pembicaraan Darmin. "Ada apa Kang?" tanya Darmin kebingungan saat Kang Salim memotong pembicaraannya. "Kamu tadi kenapa lari meninggalkan saya sendiri?"

        Wajah Darmin terlihat bingung dengan pertanyaan yang diajukan oleh Kang Salim. "Maksudnya apa ya, Kang?", tanya Darmin balik. "Ituloh sewaktu saya memanggil, kamu malah lari meninggalkan saya, dan kebetulan saat itu saya baru kembali dari kebun." Darmin pun tersadar bahwa yang dilihatnya tadi bukanlah hantu berbaju merah melainkan Kang Salim yang ditinggalnya lari. Darmin pun segera meminta maaf atas apa yang dilakukannya tadi. Lalu segera Darmin menyampaikan perihal kedatangannya ke rumah Kang Salim, dan Kang Salim pun bersedia untuk membantunya. Lalu akhirnya mereka berangkat menuju rumah Darmin untuk menyembuhkan anak perempuannya.

        Ketika berada di tengah jalan, banyak hal yang mereka bicarakan, namun Darmin merasa ada sesuatu yang aneh dari Kang Salim, ia menengok ke arah Kang Salim tetap sama seperti waktu pertama kali bertemu. Namun, ada yang aneh dengan wajah Kang Salim kali ini terlihat begitu bersih. Mungkin ia baru bercukur, gumamnya dalam hati. Akan tetapi, rasanya seorang lelaki tidak bercukur sebersih itu, sebab hampir tidak memiliki bulu. Apalagi Kang Salim kan seorang pekerja kebun, mestinya tidak sebersih itu. Setiap kali Darmin melontarkan lelucon tentang masa lalu mereka sewaktu di Malaysia, Kang Salim selalu tidak nyambung. Darmin pun terkadang kebingungan sendiri sambil menggaruk-garuk kepala, lalu tersenyum paksa. Hal itu menimbulkan kecurigaan Darmi, "Jangan-jangan ini bukan Kang Salim," tanyanya dalam hati. "Ah tidak baik suudzon, apalagi Kang Salim memang mau untuk membantu," gumamnya sekali lagi dalam hati. Kini tanpa terasa Salim dan Darmin sudah memasuki daerah area pekuburan. Darmin berusaha untuk berbicara kembali mengenai lelucon miliknya bersama Kang Salim sewaktu di Malaysia, tetapi kali ini Kang Salim hanya membatu; diam seribu bahasa, senyum pun sirna dari bibirnya yang tua dan kering.

        Tiba-tiba saja wajah Kang Salim berubah pucat dan begitu dingin, dan akhirnya langkah mereka pun terhenti, "Kang, akang baik-baik saja kan?", tanya Darmin. Salim pun masih diam seribu bahasa dan tidak menjawab apa-apa. Darmin pun mulai merasakan bulu kuduknya berdiri. Tiba-tiba saja dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, apa yang tidak pernah dilihatnya seumur hidup, dan apa yang diceritakan oleh warga kampung benar-benar menjadi kenyataan. Kang Salim bukan lagi seperti orang yang dikenal oleh Darmin. Kini ia berubah menjadi sosok wanita berbaju merah dihadapan Darmin. Wajahnya begitu mengerikan, pucat dan rusak. Rambutnya yang terurai menutup wajahnya, sungguh suatu gambaran yang menyeramkan. Darmin seperti terpaku, mulutnya seolah terkunci rapat, ia ingin berlari secepatnya. Namun, apa daya ia tidak mampu, sebab kakinya seperti tertanam kuat di atas bumu. Darmin kini berada dalam situasi yang mengerikan; yang belum pernah ia rasakan semenjak dirinya masih kecil. Wanita itu masih berdiri dihadapannya. Jaraknya hanya serentangan tangan orang dewasa dan wanita itu tersenyum dengan wajah mengerikan. Tiba-tiba Darmin merasa tubuhnya lemah dan tidak berdaya, pandangannya mulai buram, lalu gelap dan dia merasakan tubuhnya terhuyung-huyung, lalu rebah ke semak-semak yang sudah berembun karena dinginnya malam. Darmin pun pingsan, karena tidak mampu melihat kenyataan.

        Satu pertanyaan yang timbul saat Darmin mulai siuman dari pingsannya. Di mana Kang Salim sebenarnya? Lalu siapa yang ia ajak bicara di sepanjang perjalanan semalam? Lalu rumah siapa yang ia sambangi semalam untuk mencari Kang Salim dan meminta bantuan? Apakah itu benar rumah Kang Salim atau hanya rumpunan bambu? dan apa pendapat Pak RT mengenai kejadianyang menimpa dirinya? dan bagaimana nasib anaknya sekarang?


Aku yang Lain

OPINI
Oleh: Fr. Dominic Irpan
        Berbicara mengenai sahabat, tentunya kita memiliki segudang pengertian serta jawaban yang ada di dalam benak kita. Namun, apabila kita diminta untuk mewujudnyatakan apa arti dari kata "Sahabat" itu, kita tentu akan berkata, "Saya sulit untuk menjadi seorang sahabat". Sahabat mengandaikan sosok seorang pribadi yang menyadari siapa dirinya dan mengapa ia bisa ada. Hal ini menjadikannya mengerti apa yang diperlukan orang lain sebab ia sendiri juga tentunya mengalami hal yang sama. Hal inilah yang dinamakan sebagai kesadaran manusiawi (Armada Riyanto, 2019:98).

        Ketika manusia menyadari kehadirannya serta secara aktif dan sadar bahwa ia adalah manusia, maka sesungguhnya ia adalah subjek atas dirinya sendiri. Ungkapan "Aku berpikir, maka aku ada" (Cogito Ergo Sum) yang dicetuskan oleh Descartes ini memiliki makna bahwa Aku-Berpikir merupakan perwujudan langsung dari sebuah kesadaran. Manusia yang berpikir menurutnya adalah manusia yang menyadari "adanya" sendiri, sebab dengan berpikir, ia aktif dan hidup. Hal ini bukan berarti mau mengatakan bahwa ia tidak peduli dengan orang lain, melainkan justru ia menginternalisasikan ke-diri-annya dan menganggap bahwa orang lain adalah "Aku yang Lain". Sekali lagi, seorang sahabat melebihi pemikiran yang kerap kali kita gambarkan. Jadi, dalam hal ini yang hendak ditegaskan ialah bahwa persahabatan mengandaikan relasi satu pribadi dengan pribadi lainnya.

        Bila kita belajar dari para filsuf termasyhur, salah satunya Aristoteles, kita akan mengerti bahwa persahabatan itu mengalahkan keegoisan diri. Jika dua atau tiga orang sahabat tidak lagi melihat keburukan sesamanya sebagai batu sandungan, disanalah termuat makna sahabat sejati yang senantiasa memiliki pengertian, perhatian dan sikap menghormati satu sama lain.

        Pada Minggu ke IV (26 September 2021) kita telah mendalami katekese dalam Bulan Kitab Suci Nasional di pekan yang terakhir. Kita diajak untuk menjadi orang Kristen yang sejati. Kristen sejati maksudnya ialah meneladani Kristus yang senantiasa menjadi sahabat bagi semua orang. Ia adalah contoh seorang sahabat yang sejati. Ia rela mengorbankan diri-Nya demi kita semua; semua itu tidak terlepas dari CINTA. Cinta kasih menjadi landasan utama persahabatan yang diajarkan Yesus Kristus. Begitu indah Cinta-Nya terhadap kita melebihi keindahan cinta yang biasa diberikan oleh seorang kekasih. Sampai pada akhirnya, gambaran akan keindahan dan segala cinta seorang sahabat itu sendiri tak mampu terlukiskan!

Menanti Hingga Pergi

PUISI
Oleh: Fr. Adrianus Nero
Malam ini, dibawah sinar rembulan
Aku melihat sepengal kisah
Kisah masa lalu, Aku dan Kamu
Bersama angin malam
Ditemani sinar rembulan
Aku termenung
Mengingat sepenggal kisah
Yang membuat kita harus berpisah
Aku tahu
Bahwa itu adalah masa lalu
Yang tidak mungkin menjadi satu
Namun, aku yakin
Pada suatu saat nanti
Kita bersatu kembali
Walaupun harus menunggu
Hingga ajal menjemput
Dan membawaku pergi.

Sahabat

 QUOTES

Oleh: Fr. Ariberto
"Sahabat sejati bukanlah mereka yang menuntut banyak persamaan, tapi mereka yang memiliki pengertian terhadap setiap perbedaan."

Menatap dari Kejauhan

 OPINI

Oleh:
Fr. Mario More Senda
Seluruh manusia sulit bebas bergerak di masa pandemi. Gerakan virus terus menyerang setian bagian kehidupan menghadang dari dapur sampai pasar. Berbagai cara pernyataan perang terhadap virus terus berjalan. Tidak ada pilihan tanpa pengorbanan dan saat ini pengobanan terberat sekaligus paling tidak enak adalah pembatasan gerak manusia. Ketika kemajuan teknologi transportasi mengedepankan kecepatan, kenyamanan, dan mobilisasi tanpa batas, harus tunduk pada pembatasan gerak untuk melakukan penanganan virus. Manusia seakan mengalah pada situasi dan hidup dalam lingkaran tanpa gerak yang jelas.

Di Indonesia sendiri bentuk penanganan melalui pemberlakuan PPKM. Hingga saat ini belum ada kejelasan pasti kapan PPKM akan berakhir. PPKM mestinya selesai pada 19 Juli tetapi terus diperpanjang. Meskipun dalam berbagai data kasus kematian dan kasus positif terus menurun tetapi virus ini sepertinya tidak ingin mengalah. Virus ini terus menaikkan ekor dan terus bertarung. Jelas tidak ada yang ingin mengatakan PPKM adalah solusi jitu. Beban utang negara terus naik hingga 991,3 triliun dan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional 2022 terus turun drastis yakni dari 322,2 triliun turun 56,6 persen sejak PPKM berlaku. Tidak ada pihak yang diuntungkan dengan kebijakan ini, tetapi tidak juga yang ingin mengutamakan uang di atas jiwa manusia. Eksistensi manusia jauh lebih tinggi dari berbagai kepentingan.

Hidup tanpa kepastian, memasukan manusia dalam kerumitan, kekacauan, dan berbagai persoalan. Bentrokan antara kehendak pribadi dan kepentingan publik belum menemukan titik temu. Manusia berhadapan dengan pilihan rumit, ketika bertahan hidup harus ditegakkan dari pada menjalankan aturan tanpa tahu kapan berhentinya. Boleh dibilang kebijakan PPKM malah menambah beban kehidupan yang sudah banyak mengalami kerumitan mulai dari masalah jasmani hingga masalah rohani. Kondisi rumit tidak pernah lepas dari manusia. Manusia itu sendiri adalah rumit untuk dipahami dan dijelaskan. Manusia hidup dalam kerumitan dan berkembang justru menghadapi kerumitan dan kekacauan. Hanya tingkat kerumitan setiap pribadi berbeda bergantung pada situasi. Walaupun sudah terbiasa dengan kekacauan dan kerumitan tetapi tidak ada manusia yang tidak satupun manusia yang ingin tinggal dalamnya. Manusia selalu mencari cara agar dapat menangani kerumitannya.

Sebagai bagian dari manusia yang hidup di saat pandemi, saya sesekali mencoba menengok pandangan kaum Stoa, ketika berhadapan dengan dunia yang penuh gejolak dari pada terus bersedih dengan berbagai kendala yang ada. Bagi mereka manusia harus mempunyai sikap tenang untuk menaklukkan situasi kacau. Tenang bukan berarti kondisi tanpa ruang gerak, hening, dan suatu tindakan askese. Tenang adalah tindakan berpikir. Suatu teknik yang membawa setiap insan harus terbang tinggi untuk menatap kerumitan dari kejauhan. Teknik yang mengajari cara berdamai dengan situasi.

Seperti Elang yang menyadari betapa mudahnya melihat situasi di daratan ketika berada dikejauhan. Stoisisme memandang dunia dari kejauhan lalu menyadari betapa kecilnya dunia hingga semuanya terpampang jelas. Elang yang terbang dari ketinggian dapat melihat mangsanya dengan jelas dan seketika itu melakukan suatu pilihan antara menerjang atau menunggu dengan sabar hingga mangsa menunjukkan titik lemahnya. Dari kejauhan itulah Elang menentukan cara terbaik untuk mendapatkan mangsa. Para stoisisme menyadari pentingnya untuk keluar dari kerumitan dunia. Dari kejauhan itu tercipta jarak antara kerumitan dan dirinya yang sedang rumit. Bukan berarti manusia harus lari tetapi dari kejauhan itulah manusia akan menyadari betapa dirinya adalah bagian dari dunia. Dan kunci dari keberhasilan adalah ketenangan.

Seperti Elang yang menyadari betapa mudahnya melihat situasi di daratan ketika berada dikejauhan. Stoisisme memandang dunia dari kejauhan lalu menyadari betapa kecilnya dunia hingga semuanya terpampang jelas. Elang yang terbang dari ketinggian dapat melihat manggsa dengan jelas dan seketika itu melalakukan suatu pilihan antara menerjanga atau menungugu  dengn sabar hingga mangsa menujukan titik lemahnya. Dari kejauhan itulah Elang menentukan cara terbaik untuk mendapatkan mangsa. Para stoasisme menyadari pentingnya untuk keluar dari kerumitan dunia. Dari kejauhan itu tercipta jarak antara kerumitan dan dirinya yang sedang rumit. Bukan berarti manusia harus lari tetapi dari kejauhan itulah manusia akan menyadari betapa dirinya adalah bagian dari dunia. Dan kunci dari keberhasilan adalah ketenangan.

Stoisisme agaknya sesuai dengan pernyataan “Selesaikan masalah dengan kepala dingin”.  Marah terhadap situasi tentunya bukan solusi yang baik. Amarah menutup tindakan berpikir dan dapat menimbulkan suasana kacau. Marah dalam takaran tanpa berpikir merupakan tindakan irrasional. Metafora otak dingin mempunyai arti kemampuan untuk menguasai situasi bahkan tidak terpengaruh olehnya. Persis seperti pandangan Stoisisme ketika berhadapan dengan situasi yang kacau, masa pandemi merupakan situasi kacau. Banyak orang kurang mampu menguasai situasi pandemi. Pada akhirnya keluhan disana-sini. Oleh karenanya dari pandangan Stoisisme tentang memandang suatu persoalan dari kejauhan dapat menjadi referensi yang baik.

Pertama, menatap persoalan dari jauh merupakan tindakan untuk berpikir. Pada dasarnya manusia merupakan bagian dari dunia. Manusia terlempar dalam dunia dan menyatu dengan  dunia yang sudah memiliki tatanan. Manusia tidak mampu melawan tatanan dunia tetapi wajib menyatu dengan tata dunia. Oleh karenanya kegiatan berpikir berperan bukan untuk mengubah sesuatu melainkan untuk menguasi dan memahami secara mendalam. Ketika berhadapan dengan situasi kacau kegiatan berpikir hendaknya mendapatkan tempat. Melalui kegiatan berpikir inilah kemampuan sebagai makhluk yang terlempar dalam dunia mempunyai arti. Manusia tidak menjadi objek dari alam tetapi sejajar dengan alam, sehingga kekacauan dunia tidak menguasai manusia tetapi memberi kesempatan untuk memikirkannya dan mencari jalan keluar.

Kedua, melihat persoalan dari kejauhan juga mempunyai arti proses memilah. Ada banyak pilihan untuk memutuskan menahan diri atau bertindak. Seperti Elang yang terbang di kejauhan dan menatap mangsa. Ia akan memilih antara menerjang atau memantau kembali  keberadaan mangsa. Mungkin ada yang berkata, semua pilihan itu baik tetapi apakah yang baik itu baik? memilah berarti menjauhkan yang mengandung kemungkinan terburuk dan menentukan yang mengandung nilai paling tinggi. Memilah mana yang dapat dikerjakan? Tentu saja yang mampu dan dalam kadar kewarasan. Semua tawaran nampaknya baik, logis, dan sangat rasional tentunya baik hanya saja jika kesimpulan yang dihasilkan tanpa proses berpikir yang matang kesimpulan itu dapat keliru.

Ketiga, pengambilan makna. Kekacauan akan menjadi lebih kacau jika tidak mempunyai kecakapan untuk memetik sesuatu yang paling bermanfaat dari sesuatu yang kacau. Banyak orang gagal keluar dari situasi sulit karena tidak mampu memaknainya. Terbelenggu dan terus memikirkan tanpa menemukan suatu yang mendorong untuk berdamai dan bertindak. Dalam pandangan Stoisisme manusia berkaitan erat dengan dunia yang sedang ia hadapi. Manusia mumpunyai peran untuk mengusahakan segala sesuatu agar lebih baik tanpa mengubah tata dunia, karena manusia tidak mempunyai kemampuan untuk kes ana. Semakin tumpul proses pencarian makna, maka semakin sulit pula untuk keluar dari suatu persoalan dan yang ada adalah manusia hanya berputar-putar dengan pikirannya.

Dari ketiga bagian itu mempunyai suatu kunci yaitu ketenangan. Di sini ketenangan menentukan keputusan yang akan diambil. Ketenangan hadir menyatu dengan situasi, namun tidak juga larut dalam situasi. Ia seperti air, tidak menunjukkan kedalamannya tetapi dari kejauhan semua dapat mengerti bahwa ia memiliki kedalaman. Tenang tidak dikuasai oleh situasi, ia mengambil jarak sekaligus menyatu dengan situasi. Dari ketenangan itulah   lahirlah cara berpikir, cara memilah, dan cara mengambil makna, karena mempunyai kemampuan untuk bersatu dengan situasi sebagai yang melihat dari jauh lalu mengambil cara untuk menilai.

Tentunya tidak ada cara instan untuk menemukan cara menguasai kekacauan yang sedang dihadapi. Berkaitan dengan kegiatan berpikir, memilah, dan menemukan makna merupakan suatu proses yang perlu dilatih. Beberapa cara yang cukup membantu adalah menemukan pikiran paling dominan, lalu mencatatnya dalam sebuah jurnaling, kemudian memilah mana yang baik dan buruk, lalu menemukan makna, misalnya dari rangkaian peristiwa itu, apa yang dapat dipelajari untuk kehidupan. Sederhananya kaum Stoa menawarkan cara keluar dari kekacauan baik dari dalam diri dan luar diri dengan cara Refleksi.

Tulisan ini memang tidak mengajak siapapun untuk hidup begitu saja di masa pandemic, tetapi mengajak banyak orang untuk memikirkan kembali semua tindakan, semua gejolak, emosi, semua informasi di masa pandemi. Yang menulis bukan ahli kesehatan tetapi memiliki pilihan tersendiri ketika berhadapan dengan situasi di masa pandemi. Setidaknya perlu untuk memikirkan banyak aspek di kehidupan ini, memikirkan banyak orang, dan alam semesta. Cobalah untuk terbang ke angkasa, jauh dari tanah dan kemudian lihatlah dunia, dari  sana terpampang jelas bahwa dunia adalah satu kesatuan, dunia bukan satu aspek saja. Jadi berpikilah seluas mungkin, pilihlah yang paling aman, dan carilah makna agar hidup terus berjalan dengan arah yang tepat. 

Kehampaan

CERPEN

Oleh: 
Fr. Meriyadi Tanggok
Di pagi yang cerah menyajikan panorama langit berwarna biru muda bersambut hembusan angin yang mulai menggetarkan jiwa. Nuansa pagi ini sangat jernih sama seperti kemarin. Senyum dan canda tawa terukir jelas di pagi ini. Suasana yang ramai kicauan merdu burung-burung, teman-teman berjalan riang untuk segera berangkat ke sekolah dengan penuh sukcaita dan Radka pun segera bersiap mengikuti langkah-langkah yang telah mendahuluinya.

Hari-hari yang Radka jalani penuh kebahagiaan serta keceriaan serasa hidup ini begitu sempurna, namun seketika kebahagiaan dan keceriaan ini pupus. Kini Radka hanya mendapatkan kesedihan yang amat mendalam. Ia tidak bisa merasakan lagi indahnya kehidupan yang pernah ia jalani dulu. Di usia yang masih tergolong muda, Radka harus mengalami pahitnya kehidupan, di mana kedua orang tuanya harus meninggalkannya begitu cepat untuk selama-lamanya, dikarenakan kecelakaan maut yang menyebabkan kedua orang tuanya tewas di tempat, ketika hendak pulang ke rumah. Hampir setiap hari Radka menangis karena merindukan orang tuanya. Radka hanya bisa berpasrah untuk menerima semua yang ia alami. Sebelum ia ditinggalkan orang tuanya, setiap harinya ia menjalani kisah hidup yang penuh dengan canda tawa, namun kini semua telah berubah.

Suatu hari, Radka pindah ke desa di mana ia akan diasuh oleh neneknya. Saat itu, Radka masih mengalami duka semenjak ditinggalkan oleh orang tuanya. Ia juga harus menjalani kehidupan baru sebagai murid di sekolah barunya. Ketika Radka ingin pergi ke sekolah, ia selalu mencium kedua tangan orang tuanya, tetapi sekarang Radka tidak dapat merasakan itu lagi, karena kasih sayang yang telah hilang dan pupus seiring kepergian kedua orang tuanya. Radka menangis dan kecewa terhadap apa yang ia alami. Setiap hari Radka harus berjalan kurang lebih 2 Km jauhnya perjalanan menuju sekolah. Dengan keadaan ekonomi yang dialami oleh neneknya mengharuskan ia berjalan kaki. Berbeda dengan anak lainnya yang selalu diantar kedua orangtuanya.

Di saat Radka ingin pergi ke sekolah, ia selalu memeluk neneknya. Ia membayangkan bahwa yang ia peluk adalah orang tuanya. Ia hanya bisa menahan tangis dan meredam perasaan sedih dengan raut wajah yang merah. Sebelum ia pergi, ia berkata kepada neneknya, “Nek, aku berangkat dulu ke sekolah! Semoga nenek sehat-sehat saja ya di rumah!” Radka mengucapkan dengan hati tulus dan ia langsung meninggalkan sang nenek. Nenek adalah sosok yang amat berarti bagi hidupnya sekarang, karena hanya neneklah yang ia punya.

Lonceng masuk pun berbunyi, Radka segera memasuki kelasnya. Namun ketika kegiatan belajar mengajar, Radka hanya melamun dan tidak focus dalam mengikuti pelajaran tersebut pada hari itu. Tanpa ia sadari sang guru menegurnya dan bertanya, “Apa yang sedang kau pikirkan Radka?” guru bertanya dengan serius sampai ia tidak menyadarinya, dan salah satu teman yang duduk disebelahnya menyenggol dengan sikunya, “Tidak apa-apa, Bu” jawab Radka sontak. Bukan tanpa alasan Radka melakukan itu, sebab Radka masih belum bisa mengikhlaskan orang tuanya pergi dengan cepat meninggalkannya. “Apa yang salah dengan semua ini? Gerutu Radka. Lagi-lagi alam semesta tidak berpihak padanya, sosok nenek yang sungguh menyayanginya selama ini, kini harus meninggalkannya pula. Radka tidak bisa menerima kembali kepedihan ini. Ia merasa bahwa Tuhan tidak mencintai dirinya, setelah kepergian kedua orang tuanya, kini ia harus kehilangan neneknya.

Hari kian berlalu, kini Radka beranjak dewasa dan memahami arti kehidupan yang ia jalani. Ia tahu hal-hal yang dulunya menyenangkan, bahkan hal itu menjadi sesuatu yang selalu ia sebut dalam doa. Entah mengapa sekarang tidak semenarik lagi yang ia lakukan itu dan seolah semua terasa kering dan biasa-biasa saja. Radka baru menyadari bahwa ia Lelah, mungkin hidupnya jauh lebih berat, alih-alih hidup sebagai insan, ia merasa kesepian yang ia lakukan hanyalah rutinitas semata setiap hari.

“Lelah juga yaa…” keluhnya. Sambil menyandarkan kepalanya di dinding kamar, “Pak, Ibu, ini aku putra kalian Radka, rasanya sudah lama ya…Bapak dan Ibu meninggalkan aku! Aku baik-baik saja di sini, jangan khawatirkan aku. Jadi aku harap kalian baik-baik saja di surga. Pak, Ibu, aku ingin curhat kepada kalian tentang hari ini. Banyak hal yang telah kulalui, aku percaya Bapak dan Ibu pasti mendengarkan suaraku. Umurku sekarang sudah 25 tahun. Tapi entah mengapa di umur ini, aku belum bisa bertanggungjawab atas hidupku bahkan masa depanku. Kenapa Bapak dan Ibu tidak pernah cerita, kalau aku tumbuh dewasa akan mengalami kepahitan hidup yang sulit ini. Pak, Bu dikehidupan selanjutnya aku berharap semoga kita terlahir kembali!” gumamnya.

Semakin dewasa Radka, semakin dituntut untuk menyelesaikan masalah sendiri dan sabar serta terlihat baik-baik saja. Sehancur apapun keadaannya, Radka berusaha keras untuk menjalani hidup sebaik-baiknya dan Radka tidak pernah tahu untuk hidup bahagia terkadang ia perlu mengakui bahwa ia tidak sedang baik-baik saja. Ia hanya perlu menerima bahwa tidak semua yang ia inginkan bisa ia dapatkan. Ada kalanya ia belajar untuk ikhlas dan mengerti bahwa hidup memang tak selalu sejalan dengan apa yang ia mau. Ia perlu merasakan apa itu jatuh agar mengerti bagaimana caranya untuk bangkit. Radka perlu merasakan apa itu gagal, agar menghargai setiap proses perjuangan, karena berusaha menjadi lebih kuat dari apa yang ia sedang rasakan hanya akan membuat hati lebih Lelah. Jika hari-hari yang dilalu Radka terasa lebih berat, ia lebih memilih untuk menangis. Ia merasa menjadi manusia gagal juga bagian dari manusia. Radka selalu berdoa kepada Tuhannya agar hatinya selalu dikuatkan.

Radka menyadari bahwa ia lelah, dia yang hatinya penuh dengan trauma ditinggalkan oleh orang yang ia cinta lebih memilih memendamnya sendiri. Radka juga yang terlalu lelah untuk menahannya dan ia memilih untuk menangis. Ia mengadu pada Tuhannya, ia tumpahkan segala keluh kesahnya lalu ia berdoa “Ya Tuhan…dosaku amatlah besar kepada-Mu, tetapi amalku tak sebanding dengan dosa yang aku perbuat, aku malu karena hanya datang di saat aku sedang mengalami masalah. Tapi bukan kepada Engkau, kemana lagi aku akan mengadu. Maka, kumohon ampuni aku Tuhan, peluklah aku dengan kehangatan-Mu, jadikan aku manusia yang sabar dan ikhlas atas segala ketentuan. Kuatkan hatiku karena hanya kepada-Mu lah tempat yang sempurna di mana aku dapat berharap.

Suara

PUISI

Oleh:
Fr. Hendrikus Pebriantinus Liman
Jiwa ku terpukau mendengar suara
Suara yang tak pernah ku kenal memanggilku
Tersentak hatiku tergerak oleh suara itu
Aku mulai mengikuti-Nya

Aku terus menggikutinya dari belakang
Ternyata ku terbuai mencekam
Seperti ombak yang hendak menghantam
Hanya riuh cemas ku dapatkan

Suara tak ku dengar
Hilang lenyap dalam kegelapan malam
Aku merintih ketakutan
Hingga aku kaku terdiam

Samar-samar suara, ku dengar lagi
Aku terus mencarinya tanpa kata terucap
Keajaiban diam tiba
Suara itu terus memanggil
hingga aku menemukan-Nya dalam keheningan

Malang, 19 September 2021 

 

Kirim Tulisan

What's App:

+62817-0318-8444 (Kalam)

Alamat:

Jl. Sigura-gura Barat, No. 2 Karang Besuki (Seminari Tinggi Interdiosesan Giovanni XXIII),
Malang, Jawa Timur

Email :

narasigiovanni@gmail.com

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

Si Baju Merah

CERPEN Oleh: Fr. Ayub Api Bato           Selepas sore itu Darmin pergi ke kebun yang terletak di belakang rumahnya, ia hendak mencari daun s...