CERPEN
Selepas sore itu Darmin pergi ke kebun yang terletak di belakang rumahnya, ia hendak mencari daun singkong untuk dijadikan sayur santap malam seadanya bersama isteri dan anak perempuannya. Namun, ketika hendak melangkahkan kakinya keluar rumah, Darmin terkejut mendengar teriakan dari dalam bilik rumah. "Mas-mas, mas Darmin!", teriak isterinya itu membentak langkah kaki Darmin. Tanpa menunggu lama Darmin langsung berpaling dari keinginannya untuk memetik daun singkong. Ia pun segera masuk ke dalam rumah dan dibukanyalah tirai bilik anak perempuannya itu; sedang isterinya duduk di samping bilik anaknya, Darmin pun segera duduk di samping isterinya. "Adik kenapa Rat?" tanya Darmin. "Gak tahu juga mas, tadi setelah mandi, tiba-tiba tubuhnya Rahmi langsung panas gitu", sela isterinya dengan raut wajah cemas. Darmin pun mulai nampak gelisah sambil memandang wajah isterinya dengan menghela napas. Dilihatnya suasana di luar nampak sepi dan sudah mulai gelap. Warga kampung pun sudah tidak ada lagi yang keluar rumah, kecuali warga yang berlalu-lalang hendak ke musholla yang ada di tengah kampung, "Aduh, bagaimana nih mas jika panasnya Rahmi semakin tinggi, gak mungkin mas jika kita ingin membawanya ke rumah sakit karena jaraknya yang cukup jauh."
Darmin termenung sendiri dalam pikirannya, entah apa yang ia pikirkan, yang pasti dia tidak mendengar apa yang dikatakan isterinya barusan. Tiba-tiba Darmin pun teringat dengan Kang Salim, sahabatnya yang berasal dari Jakarta; seorang kenalannya sewaktu masih menjadi TKI di Malaysia. Waktu itu Darmin yang masih bujang tidak puas dengan akan hasil panen dari kebun pribadinya, kemudian memilih untuk merantau ke Malaysia, dengan dokumen dan paspor seadanya. Akhirnya ia bertemu dengan Kang Salim dan tinggal serta bekerja bersama di kamp-kamp perusahaan sawit swasta. Pernah juga dalam beberapa kali kesempatan Darmin merasa kurang enak badan, Kang Salim lalu lekas mengambil alih berdoa sambil mengkomat-kamitkan mulutnya, lalu memberi Darmin segelas air putih, dan keesokan harinya, Darmin pun kembali sehat. Hal itu lah yang membuat Darmin yakin akan kemampuan luar biasa sahabatnya itu. "Mas, mas, Mas Darmin!", sela Ratna membuyarkan pikiran lamun suaminya itu. "Bagaimana ini mas?", tanya Ratna sekali lagi. "Wes rapopo, aku ono kenalan seng iso nyembuhin Rahmi". "Sopo mas?" tanya Ratna. "Ah kamu gak perlu tahu; yang penting kamu jaga Rahmi di sini, aku pergi dulu", jawab Darmin sambil berlalu.
Rumah Kang Salim berada di tepi kampung dan memang benar-benar berada di tempat yang paling ujung; di mana tempat itu sangat sepi dan jauh dari keramaian hiruk pikuk desa, apalagi menjelang malam hari, rumah Kang Salim benar-benar menjadi tempat yang sepertinya sungguh terasingkan. Maklum, Kang Sali adalah peghuni baru di kampung itu, sehingga untuk mendapat tanah dan rumah di tengah kampung sangatlah sulit, hanya Darmin dan pak Rt-lah yang mengenal keadaan Kang Salim saat ini. Kang Salim juga sudah menjadi duda sejak empat tahun lalu, semenjak ditinggal isterinya yang telah wafat dan anak-anaknya pun sudah merantau entah ke mana; sampai tak ada kabarnya saat ini. Jadi terpaksa Kang Salim harus bekerja sendiri, mengolah sebidang tanah yang dibelinya sewaktu baru pindah. Akhirnya malam itu, Darmin memutuskan untuk pergi ke rumah Kang Salim, guna mencari penyembuhan untuk si Rahmi yang sedang sakit. "Semoga saja ketemu", Darmin membatin. Lalu, ia melangkah keluar meninggalkan Rahmi dan isterinya, tanpa pamit.
Malam sudah larut, suasana kampung nampak begitu lenggang, hanya obor-obor yang dipasang warga di depan rumah mereka dan rembang dari rembulan yang saat ini menjadi penerang dan peneman perjalanan Darmin malam itu. Sesekali Darmin berpapasan dengan warga kampung yang baru saja pulang dari mushola. Tanpa kata-kata Darmin melintasi mereka satu per satu, hanya lemparan senyum seadanya yang ditampilkannya, sebab kali ini hatinya sangat risau memikirkan anaknya yang sedang sakit. Setelah berjalan cukup lama, Darmin mulai meninggalkan area kampung yang penuh dengan rumah. Kini ia memasuki kebun-kebun warga yang dipenuhi dengan tanaman dan sedikit pepohonan besar; yang sesekali menghapus bayangan Darmin dari rembang rembulan. Kini suasanan begitu sepi, hanya suara gesekan alas kaki yang bersua dengan kasarnya jalan tanah; yang kini didengarnya. Semakin lama, semakin keras, dan membuyarkan suara alam yang ada disekitarnya.
Setelah melewati kebun warga. Kini, Darmin harus melewati perkuburan, yang begitu gelap dan runduk. Pekuburan itu berada di pinggir jalan utama dan melewati kuburan untuk dapat mengakses perjalananan menuju pasar atau kota. Dilihatnya dari kejauhan sekitar sepelemparan batu, terpampang tulisan, "Pekuburan Muslim Desa Sugi", dan papan tulisan itu nampak sudah tua dan lapuk, tumbuhan bertali banyak merayapi tubuh papan itu. Darmin melihat dari tulisannya saja sudah nampak begitu mengerikan, seperti ada tersimpan sesuatu di sana, sesuatu yang cukup besar, gelap dan menyeramkan. Namun, Darmin berusaha untuk menepis semua pikiran itu, dan lebih memilih untuk memikirkan anaknya yang sedang sakit, tetapi semakin ditolaknya, semakin pikiran itu menjajahi pikirannya.
Kini bukan lagi nafsu liar Darmin yang muncul kala berhadapan dengan isterinya, tetapi pikiran-pikiran liar yang hadir kala berhadapan dengan sebidang tanah yang penuh dengan bangkai-bangkai manusia mati. Tanpa peduli Darmin terus melangkah dan ketika hendak memasuki area pekuburan, Darmin teringat cerita warga kampung, bahwa dulu ada seorang wanita berbaju merah, yang dibunuh dan dipenggal kepalanya, lalu mayatnya dilemparkan ke area pekuburan, dan seminggu setelah lewat peristiwa itu, ada dua orang pemuda yang pulang dari pasar ketika melewati area pekuburan. Kedua pemuda itu melihat ada seorang wanita berbaju merah menanggalkan kepalanya, seperti memetik buah kelapa, lalu terus menerus dipelintir menggunakan kedua tangannya hingga terlepas dan jatuh ke tanah. kedua pemuda itu pun segera lari pontang-panting. Mengingat cerita itu, membuat bulu kuduk Darmin berdiri juga. Perasaan takut pun mulai menguasai dirinya, tiba-tiba ia merasa kakinya sangat berat untuk melangkah. Rasanya seperti menyeret sebuah beban yang sangat berat. "Apakah ini karena rasa takut?", Darmin membatin. Dengan segala keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja, Darmin mulai berjalan melewati area pekuburan itu.
Nampak begitu hening, sepi dan tak berpenghuni. Sesekali dedaunan dari pohon bambu berbunyi, karena bergesekan bersama rendahnya angin. Darmin pun teringat kembali, konon sosok wanita yang sering menampakkan diri di depan gerbang masuk ke area pekuburan; kini hendak dilalui oleh Darmin. Selangkah demi selangkah Darmin mulai melanjutkan perjalanannya, kini suara gesekan sandalnya sudah tak terdengar lagi, karena langkah kaki yang dipelankannya. Ia takut jika akan membangukan mereka yang sedang terbaring tenang di alam sana, ataupun menganggu wanita yang berbaju merah itu. Darmin juga menoleh ke arah kanan, dilihatnya samar-samar batu nisan yang disinari oleh rembulan. Batu-batu nisan yang nampak begitu lusuh, juga rerumputan liar yang menjarah ke bukit-bukit kubur, nampak begitu kumuh dan tak terurus. Maklum baru menjelang hari raya lebaranlah para warga dan pak Lurah bergotong royong membersihkan area pekuburan itu.
Setelah berjalan dan hampir melewati area pekuburan, Darmin mulai merasa cukup lega, karena apa yang ditakutkannya tidak sama dengan kenyataan yang dikatakan warga sekitar. Wanita berbaju merah itu pun juga tidak nampak di setiap sudut area pekuburan. Ia tertawa menang di dalam hatinya. Beberapa langkah lagi ia akan melewati area pekuburan yang menjengkelkan dan menyeramkan itu. Tetapi seketika itu juga, ia mendengar dari kejauhan ada seseorang yang memanggil namanya, "Darmin, Darmin, Darmin!", terus menerus hingga beberapa kali. Darmin berharap itu bukanlah suara dari wanita berbaju merah itu, dengan segala keberanian ia pun menoleh ke belakang tetapi tidak ada siapapun di belakang sana. Beberapa saat kemudian terdengar kembali suara yang terus memanggil namanya, kini suara itu terdengar semakin jelas, namun sedikit bernada parau. Kini suara itu sudah berada di sekitar area pekuburan semakin dekat dan dekat.
Kini Darmin berusaha untuk menyipitkan matanya, dan kemudian dilihatnyalah sosok berbaju merah yang sedang berjalan menuju kearahnya. Mungkinkah dia adalah wanita berbaju merah, tanya Darmin dalam hati. Ketika sosok berbaju merah itu semakin mendekat kearahnya, Darmin mulai merasa ketakutan yang menyelimuti dirinya, napasnya semakin memburu, ditelannya liurnya hungga membuat jakunnya naik turu. Mulutnya terasa kaku, ketika sosok itu menyapa drinya, "Mas Darmin." Tanpa pikir panjang, Darmin segera lari terbirit-birit, meninggalkan sosok yang menyeramkan itu bersama sandal jepit yang kumal tanpa disadari juga ketinggalan. Darmin berlari seperti seorang atlet yang sedang memperlombakan kejuaraan, begitu ringan, gesit, cepat dan lalu menghilang dalam kegelapan malam. Ia terus berlari tanpa menoleh ke belakang, yang ada dipikirannya saat ini bukan lagi anaknya Rahmi yang sedang sakit dan membutuhkan pertolongan melainkan lari dan lari agar menjauh dari sosok berbaju merah itu. I takut apabila nanti ia melepaskan kepalanya dihadapan Darmin dan tentu akan membuat ia bisa pingsan dan tidak bisa menolong anaknya. Hingga akhirnya ia berhenti dari pelariannya dan ia pun menoleh ke belakang. Sosok berbaju merah itu sudah tidak nampak lagi.
Nafas Darmin kini perlahan teratur kembali, ia menunduk dan memegang kedua lututnya yang sudah tua namun kali ini malah dipaksa untuk berlari. "Hantu sialan, kerjanya hanya menakut-nakuti orang saja", sela ia dalam hatinya. Kali ini ia tidak peduli lagi dengan hantu itu, ia harus segera pergi ke rumah Kang Salim untuk menerima bantuan, karena anaknya yang sedang sakit, dan lumayan juga supaya ada teman seperjalanan untuk balik ke rumah. Sambil tergopoh-gopoh tanpa alas kaki yang sudah ditinggalkannya tadi di area pekuburan; ia pun berjalan menuju rumah Kang Salim.
Akhirnya tibalah ia di rumah Kang Salim. Suasananya juga sepi persis seperti daerah pekuburan tadi, kini hanya suara jangkrik yang menyapanya setiap kali langkahnya tertapak menuju pekarang rumah Kang Salim. Sepi dan tak berpenghuni, hanya daun-daun renyah ketika diinjak yang menjawab setiap langkah penuh harap itu. Ia mulai menaiki teras dan mengetuk secara perlahan pintu rumah. "Permisi, selamat malam", sekali lagi, tapi tak ada jawaban sama sekali. Sepi. Darmin pun mulai putus asa, ia kebingungan tentang apa yang harus ia lakukan; kini seseorang yang menjadi harapan untuk menyembukan anaknya yang sedang sakit, tidak berada di rumah. Hal itu diketahuinya juga melalui obor di pinggir jalan yang mestinya dinyalakan oleh pemilik rumah, seperti kebiasaan warga kampung lainnya ketika hari menjelang malam.
Apakah kali ini ia harus ke rumah sakit? Tentu tidak memungkinkan. Saat ini malam sudah benar-benar menampakkan kegelapannya; mengantar anaknya adalah hal yang tidak mungkin, selain tidak mempunyai kendaraan; kendaraan umum juga jarang lewat jika telah larut malam. Kini, Darmin harus kembali ke rumah dan bersua dengan kenyataan, bahwa ia akan melewati area pekuburan yang gelap dan sepi, lalu bertemu dengan sosok wanita berbaju merah, dan ia akan berlari ketakutan, kemudian tiba di rumah bertemu keluarganya yang sedang dirundung kesusahan akibat anaknya yang sedang demam tinggi. Seperti kata pepatah "Sudah jatuh lalu tertimpa tangga", sungguh nasib sial yang dialaminya saat ini.
Darmin menghela napas panjang, sambil menutup mata. Ia berusaha untuk mengumpulkan keberaniannya sebagai bekal untuk melewati jalan pekuburan itu. Kini, ia sudah siap dengan segala kemungkinan yang ada. Saatnya untuk kembali. Ketika hendak melangkah keluar dari teras rumah Kang Salim, ia kaget ketika melihat sahabat lamanya itu yang tiba-tiba muncul dan berdiri di pekarangan rumah; dengan menggunakan baju merah yang kotor dan lusuh, persis seperti wanita berbaju merah yang ditemuinya sewaktu di jalan pekuburan tadi, tetapi ia kenal betul dengan sosok yang satu ini. Dia adalah Kang Salim; bukan wanita berbaju merah itu. "Hei, Darmin apa kabar?", tanya Salim. "Kang Salim?", tanya Darmin sambungnya sembari tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, lalu dengan gembira ia menyambut Salim. "Mau ke mana kamu, ayo duduklah dulu." Kang Salim mempersilakan Darmin duduk di kursi ruang tamu. "Ada apa ini, tumben malam-malam ke sini? Sebentar saya ambilkan minum dulu." "Ah tidak usah repot=repot, saya ke sini cuma ada perlu sebentar, Kang", sela Darmin sambil menahan tangan Kang Salim untuk beranjak. "Ah begini Kang", "Eh tunggu dulu," Kang Salim memotong pembicaraan Darmin. "Ada apa Kang?" tanya Darmin kebingungan saat Kang Salim memotong pembicaraannya. "Kamu tadi kenapa lari meninggalkan saya sendiri?"
Wajah Darmin terlihat bingung dengan pertanyaan yang diajukan oleh Kang Salim. "Maksudnya apa ya, Kang?", tanya Darmin balik. "Ituloh sewaktu saya memanggil, kamu malah lari meninggalkan saya, dan kebetulan saat itu saya baru kembali dari kebun." Darmin pun tersadar bahwa yang dilihatnya tadi bukanlah hantu berbaju merah melainkan Kang Salim yang ditinggalnya lari. Darmin pun segera meminta maaf atas apa yang dilakukannya tadi. Lalu segera Darmin menyampaikan perihal kedatangannya ke rumah Kang Salim, dan Kang Salim pun bersedia untuk membantunya. Lalu akhirnya mereka berangkat menuju rumah Darmin untuk menyembuhkan anak perempuannya.
Ketika berada di tengah jalan, banyak hal yang mereka bicarakan, namun Darmin merasa ada sesuatu yang aneh dari Kang Salim, ia menengok ke arah Kang Salim tetap sama seperti waktu pertama kali bertemu. Namun, ada yang aneh dengan wajah Kang Salim kali ini terlihat begitu bersih. Mungkin ia baru bercukur, gumamnya dalam hati. Akan tetapi, rasanya seorang lelaki tidak bercukur sebersih itu, sebab hampir tidak memiliki bulu. Apalagi Kang Salim kan seorang pekerja kebun, mestinya tidak sebersih itu. Setiap kali Darmin melontarkan lelucon tentang masa lalu mereka sewaktu di Malaysia, Kang Salim selalu tidak nyambung. Darmin pun terkadang kebingungan sendiri sambil menggaruk-garuk kepala, lalu tersenyum paksa. Hal itu menimbulkan kecurigaan Darmi, "Jangan-jangan ini bukan Kang Salim," tanyanya dalam hati. "Ah tidak baik suudzon, apalagi Kang Salim memang mau untuk membantu," gumamnya sekali lagi dalam hati. Kini tanpa terasa Salim dan Darmin sudah memasuki daerah area pekuburan. Darmin berusaha untuk berbicara kembali mengenai lelucon miliknya bersama Kang Salim sewaktu di Malaysia, tetapi kali ini Kang Salim hanya membatu; diam seribu bahasa, senyum pun sirna dari bibirnya yang tua dan kering.
Tiba-tiba saja wajah Kang Salim berubah pucat dan begitu dingin, dan akhirnya langkah mereka pun terhenti, "Kang, akang baik-baik saja kan?", tanya Darmin. Salim pun masih diam seribu bahasa dan tidak menjawab apa-apa. Darmin pun mulai merasakan bulu kuduknya berdiri. Tiba-tiba saja dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, apa yang tidak pernah dilihatnya seumur hidup, dan apa yang diceritakan oleh warga kampung benar-benar menjadi kenyataan. Kang Salim bukan lagi seperti orang yang dikenal oleh Darmin. Kini ia berubah menjadi sosok wanita berbaju merah dihadapan Darmin. Wajahnya begitu mengerikan, pucat dan rusak. Rambutnya yang terurai menutup wajahnya, sungguh suatu gambaran yang menyeramkan. Darmin seperti terpaku, mulutnya seolah terkunci rapat, ia ingin berlari secepatnya. Namun, apa daya ia tidak mampu, sebab kakinya seperti tertanam kuat di atas bumu. Darmin kini berada dalam situasi yang mengerikan; yang belum pernah ia rasakan semenjak dirinya masih kecil. Wanita itu masih berdiri dihadapannya. Jaraknya hanya serentangan tangan orang dewasa dan wanita itu tersenyum dengan wajah mengerikan. Tiba-tiba Darmin merasa tubuhnya lemah dan tidak berdaya, pandangannya mulai buram, lalu gelap dan dia merasakan tubuhnya terhuyung-huyung, lalu rebah ke semak-semak yang sudah berembun karena dinginnya malam. Darmin pun pingsan, karena tidak mampu melihat kenyataan.
Satu pertanyaan yang timbul saat Darmin mulai siuman dari pingsannya. Di mana Kang Salim sebenarnya? Lalu siapa yang ia ajak bicara di sepanjang perjalanan semalam? Lalu rumah siapa yang ia sambangi semalam untuk mencari Kang Salim dan meminta bantuan? Apakah itu benar rumah Kang Salim atau hanya rumpunan bambu? dan apa pendapat Pak RT mengenai kejadianyang menimpa dirinya? dan bagaimana nasib anaknya sekarang?